Sejarah Cetak Sablon
Cetak
sablon atau cetak saring telah lama di kenal dan di gunakan oleh bangsa
jepang sejak tahun 1664, abad ke 17 , ketika itu Yujensai Miyasaki dan
Zisukeo mengembangkannya dengan menyablon kain kimono beraneka motif.
Penyablonan kimono itu dilatarbelangi oleh kaisar yang melarang
menggunakan kimono bertuliisan tangan. Pesalnya, Kaisar sangat prihatin
karena tingginya harga kimono motif tulisan tangan yang beredar di
pasar. Dengan keluranya kebijakan tersebut dapat ditekan, dan kimono
motif sablon mulia banyak di di gunakan oleh masysrakat jepang.
Sejak
itu teknik cetak sablon mulai merambah ke negara-negara. Akan tetapi
cetak sablon pada masa itu berkembang tidak terlalu baik, penggunaan
kain gasa atau screen sebagi acuan, cetak sebelum di kenal, penyablonan
masih menggunakan teknik pengecapan atau menggunakan model cetak atau
mal.
Pada tahun
1907, seorang pria kebangsaan Inggris, Samuel simon, mengenalkan teknik
sablon denghan menggunakan Chiffon sebagai pola (form) untuk mencetak.
Chiffon merupakan bahan rajut yang terbuat dari gasa atau kain saring.
Gambar yang tercetak akan mengikuti pola gambar yang ada pada kain
gasa. Itu sebabnya teknik ini dikenal dengan sebutan silk screen
printing yang berarti mencetak dengan menggunakan kain saring sutra.
Usai
perang Dunia kedua, teknik cetak saring terus berkembang pest.
Inovasi-inovasi terus dilakukan hingga memunculkan genre baru yaitu
teknik cetak saring moderen. Namun, teknik dasar yang di gunakan cetak
saring tetap sederhana, mudah, dan murah untuk di praktekan. Karenanya,
selama bertahun-tahun, pandangan orang pada teknik saring ini tetap
sama, yakni usaha sambilan tetapi menghasilkan”.
Istilah teknik cetak saring di Indonesia
kurang di kenal. Istilah yang lebih popular digunakan adalah cetak
sablon. Konon, kata sablon berasal dari bahasa belanda, yakni Schablon.
Kata tersebut berkulturasi dan menjadi bahasa sarapan hingga
bermetamorposis menjadi kata sablon